Skip to main content

Catatan Refleksi dari Interaksi Perempuan Multikultural Lintas Usia



Perjalanan Ausbildung mendatangkan banyak pembelajaran bagi diri saya. Mulai dari mengulik kembali seputar ilmu pengolahan pangan dan akuntansi di sebuah kelas belajar, manajemen diri agar bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dalam menjalankan setiap peran yang diemban, juga pengalaman interaksi sosial secara intensif dengan teman sekelas yang notabene semuanya perempuan, namun berasal dari negara yang berbeda-beda dan dengan rentang usia yang luas pula.

Untuk rentang usia, secara sederhana saya klasifikasikan jadi tiga golongan, ada yang perempuan lajang dengan kisaran usia 20 hingga 30 tahun, ada ibu muda yang masih memiliki anak kecil dengan usia satuan, ada ibu paruh baya dengan usia anak-anaknya yang sudah belasan bahkan puluhan tahun. Semuanya membaur dalam satu kelas belajar.

Dari segi budaya, ada warga lokal yang memang berganti bidang profesi, ada warga keturunan pendatang yang sudah terlahir di Austria, ada warga pendatang yang sudah datang dan tinggal di Wina sejak puluhan tahun yang lalu, sedang mereka menikah dengan pasangan masing-masing. Dari kesemuanya, memang saya lah yang terbilang paling baru tinggal di Wina dan belajar bahasa Jerman. Ya, masa tinggal yang „baru“ empat tahun di Wina, tentu masih jauh lebih muda ketimbang teman-teman yang sudah puluhan tahun tinggal di sini dan menggunakan bahasa Jerman dalam berkomunikasi sehari-hari. Ada berapa negara ya yang menjadi asal kami berdua belas? Hmm... mari coba kita hitung. Indonesia, Austria, Albania, Mesir, Arab, Cina, Kamboja, Polandia, Turki, Kongo dan lainnya yang saya lupa.

Dari sebelas orang teman sekelas, saya banyak dekat dengan S dan Y. S merupakan seorang perempuan cerdas dan rajin yang berasal dari Kamboja. Ia sudah sekitar dua puluh tahun tinggal di Wina. Sedangkan Y adalah seorang perempuan asli Shanghai yang sudah sekitar tiga puluh tahun berdomisili di Wina. Selain membuat kue, ia juga suka membuat beragam kerajinan dan piawai memainkan biola. Dan mungkin, kedekatan yang terjalin diantara kami bertiga, selain sama-sama sudah menjadi seorang ibu, adalah juga kultur benua Asia yang memang berbeda dengan Eropa.

Interaksi antara teman sekelas seringkali banyak terjalin di kelas (saja). Sekali pun ada WhatsApp Group, namun tidak digunakan untuk berdiskusi yang menghasilkan sebuah keputusan. Di sini, menjadi silent reader di sebuah WAG merupakan hal yang amat wajar. Banyak pihak yang mengatakan dengan datar bahwa ia tak membuka WAG atau terlewat baca pesan yang ada di WAG. Di sisi lain, saat WAG terlalu dipenuhi oleh pesan yang kurang terkait dengan tujuan pembuatan WAG, anggota bisa menyampaikan keberatan atau peringatan. Nyatanya, saat sebuah WAG dibentuk untuk menyampaikan informasi penting terkait Ausbildung sedangkan banyak anggota lain yang mengirim pesan berupa lelucon, maka anggota lain yang jarang membuka WhatsApp akan kesulitan menemukan informasi-informasi penting tersebut karena sudah tenggelam oleh pesan-pesan penggembira. Kemudian berujung dengan mereka bertanya via jalur pribadi kepada ketua kelas. Ketua kelas jadi kerja dua kali, kan? Kalau ia tak keberatan sih tak mengapa. Tapi tetap saja kurang efisien. Dari pengalaman ini saya belajar untuk berinteraksi di WAG sesuai tujuan WAG tersebut dibuat, dan belajar untuk punya beragam sudut pandang agar bisa lebih toleran dengan sikap anggota WAG lainnya.

Namanya interaksi, wajar jika timbul adanya gesekan. Selama menjalani Ausbildung ini, ada beberapa gesekan yang terjadi. Mulai dari antar teman sekelas hingga salah seorang peserta dengan salah satu trainer. Dari kejadian-kejadian tersebut, saya menarik insight mengenai komunikasi asertif. Jadi, ada sebuah kejadian yang baru saja terjadi di pekan lalu. Salah seorang teman, mengomentari aksi dari yang lain. Komentar itu membuat pihak yang dikomentari tak berkenan. Sebagai pihak yang turut mendengar komentar, saya pun merasa komentar tersebut kurang faktual. Maka, temanku mengambil langkah untuk menghubungi sang komentator melalui WhatsApp, menyampaikan bahwa ia tak berkenan dengan kata-kata yang ditujukan padanya di hari sebelumnya. Sang komentator menjelaskan bahwa ia tak bermakasud menyinggung perasaan dan meminta maaf. Permintaan maaf diterima dan keadaan kembali membaik.

Bagi saya, kejadian di atas merupakan sebuah contoh praktik baik dalam berkomunikasi secara asertif. Kita berterus terang dan menyampaikan ketidaknyamanan kita pada pihak lain, dengan cara penyampaian yang baik. Kemudian sang lawan bicara pun menjelaskan alasan ia berkata demikian dan meminta maaf atas aksi yang ia lakukan. Masalah tuntas, tidak berbuntut panjang dan masing-masing legowo dan fokus pada solusi. Karena sebelumnya pun, hubungan keduanya juga terjalin akrab dan cukup dekat. Sayang sekali jika gesekan sedikit menimbulkan ketidaknyamanan yang berlarut-larut. Apalagi menjelang masa ujian.

Terus terang saya masih belajar untuk bersikap demikian. Bukan hanya berterus terang dan terbuka, tapi juga berlatih menyampaikan suatu hal dengan komunikatif, sehingga bisa diterima komunikan tanpa menyakiti hati. Dan habitat saat ini, teman-teman di sekeliling, memberi teladan untuk saya, bagaimana hal seperti itu dilakukan dalam keseharian. Lagi-lagi PR bagi saya tentu saja, terus meningkatkan keterampilan berbahasa Jerman, sehingga memiliki kosakata yang lebih banyak dan bisa menyampaikan pendapat dengan lebih leluasa. Terima kasih, lingkungan kondusif!

Wien, 16.Oktober 2022

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Menulis Cerita Anak : Pengenalan Anggota Tubuh

CERITA TENTANG PENGENALAN ANGGOTA TUBUH Udara hangat, suara burung berkicau dan air bergemericik, menemani sang mentari menyingsing dari arah timur. “Assalamu’alaykum warahmatullah wabarakatuh…. Selamat pagi anak-anak… Bagaimana kabar hari ini?” ibu guru membuka ruang kelas batita dengan sapaan penuh semangat. Anak-anakpun menjawab dengan antusias, bahkan mereka berlomba-lomba mengeraskan suara, “Wa’alaykumsalam warahmatullah wabarakatuh… Selamat pagi ibu guru… Alhamdulillah….Luar biasa…Allahu Akbar!” Jawaban sapaan berlogat cedal khas anak-anak membahana di seluruh isi ruangan. Ibu guru tersenyum lebar. (Coba, siapa yang bisa peragakan, bagaimana senyum lebar itu?). Jawaban nyaring anak-anak tadi tak ubahnya pasokan energi yang membuat semangatnya menggebu sehari penuh. Pagi ini sang ibu guru akan mengenalkan pada anak-anak mengenai anggota tubuh. Sengaja beliau datang dengan tangan hampa. Tanpa buku, tanpa alat peraga. Rupanya beliau ingin tahu seberapa jauh anak-

Mini Project : Belajar Siklus Air

Mini Project 20 Juli 2016 Belajar Siklus Air Beberapa sore belakangan, hujan selalu menyapa. Allahumma shoyyiban nafi’an Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat. Salah satu kebiasaan yang Mentari Pagi lakukan saat hujan adalah melihat kamar belakang sambil melapor, “Ngga bocor koq Mi,alhamdulillah kering.” Hihihi..Atap kamar belakang memang ada yang bocor. Sehingga jika hujan turun, terlebih hujan besar, saya selalu mengeceknya, apakah bocor atau tidak. Dan kebiasaan inilah yang damati dan diduplikasi oleh MeGi. Dari sini jadi terpikir untuk mengenalkan siklus air padanya. Alhamdulillah, kemudahan dari Allah. Saat membuka facebook timeline , ada teman yang membagi album foto mba Amalia Kartika. Berisikan ilustrasi menarik mengenai informasi ayat-ayat yang berkaitan dengan air dan hujan. Jadilah ini sebagai salah satu referensi saya saat belajar bersama mengenai siklus air. Untuk aktivitas ini saya menggunakan ilustrasi siklus air untuk stimulasi m

Manajemen Prioritas dalam Berkomunitas

Membuat Skala Prioritas Beberapa pekan lalu, kami sebagai tim Training and Consulting Ibu Profesional Non ASIA mengundang mba Rima Melani (Divisi Research and Development – Resource Center Ibu Profesional, Leader Ibu Profesional Banyumas Raya sekaligus Praktisi Talents Mapping ) di WhatsApp Group Magang Internal. Bahasan yang disampaikan adalah mengenai Manajemen Prioritas dalam Berkomunitas.  Bahasan ini kami jadwalkan sebagai materi kedua dari rangkaian materi pembekalan untuk pengurus IP Non ASIA karena bermula dari kebutuhan pribadi sebagai pengurus komunitas. Masih berkaitan dengan materi sebelumnya, yang bisa disimak di tulisan sebelumnya . Di materi pertama lalu kami diajak uni Nesri untuk menelusuri peran diri sebagai individu, yang kemudian dipetakan dan dikaitkan dengan peran dalam keluarga sebagai lingkaran pertama, dilanjutkan dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan sosial sekitar. Sehingga antara peran diri, peran dalam keluarga serta peran komunal dapat di